Cerita Sukses Brand Fashion Lokal asal Bali, Siap Mendunia ke Paris
Berawal dari kecintaannya pada alam, Elizabeth Selly memulai bisnis mode. Sempat vakum, ia memberanikan diri lagi untuk berkarya. Keberanian tersebut membuahkan kesempatan untuk mencoba peruntungan di salah satu pusat mode dunia, Paris.
Elizabeth tak menyangka bila Enigma Art Textile, jenama yang didirikannya pada 2016, terkualifikasi untuk berpartisipasi di Premiere Classe Paris Trade Show 2024 melalui Pintu Incubator. Digelar sejak 1989, perhelatan tersebut merupakan pameran dagang kunci di Paris, Prancis, karena mempertemukan desainer dan jenama seluruh dunia dengan para buyers potensial.
Bagi pemain yang terbilang baru di ranah mode seperti Elizabeth, berada di sana tentu peluang yang langka. Apalagi desainer yang berbasis di Bali ini belum pernah menjajal pasar global.
"Antara senang dan bertanya juga. Ini benar nggak sih keterima," cerita Elizabeth dengan nada girang di ujung telepon kepada baru-baru ini.
Sejak lima bulan terakhir Elizabeth intens mengikuti Pintu Incubator, program inkubasi bagi para kreator mode besutan JF3 Fashion Festival (dulu Jakarta Fashion & Food Festival) serta Lakon Indonesia yang berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Prancis.
Selama 'diinkubasi', ia mendapat bimbingan dari para mentor berpengalaman. Tak hanya mereka yang pakar dalam desain, tapi juga pemasaran dan bisnis. Pertama kali diadakan pada 2022, Pintu Incubator bertujuan mempersiapkan kapasitas talenta muda industri mode Indonesia agar dapat bersaing dalam skala internasional.
Elizabeth Selly, pendiri Enigma Art Textile yang berbasis di Bali. (Foto: Dok. pribadi) |
Program yang diisi dengan berbagai lokakarya ini sekaligus membawa harapan bagi pemulihan perekonomian Indonesia lewat usaha kecil setelah melalui masa kritis pandemi COVID-19. Salah satu contoh suksesnya adalah Apakabar, peserta Pintu angkatan kedua, yang mendapat pesanan dari buyers internasional. Pendirinya kini memilih bermukim di sana meski proses produksi tetap di Tanah Air.
Bisa menembus Paris tentu juga menjadi harapan Elizabeth. Dengan tekun ia menjalani semua kegiatan Pintu meski harus sering bolak-balik Jakarta-Bali. "Agak berat sih karena aku tinggalnya di Bali. Workshop-ku juga di sana," kata perempuan 34 tahun itu.
Sedari awal mendirikan Enigma Art Textile, Elizabeth fokus menggarap kain-kain berbahan organik. Ia mendeskripsikan usahanya sebagai 'jenama tekstil kontemporer Indonesia dari Bali yang berkolaborasi dengan seniman.
Koleksi Enigma Art Textile. (Foto: Dok. Enigma Art Textile) |
Mulanya, produk Enigma Art Textile hanya seputaran aksesori seperti scarf, dompet, dan totebag sebelum akhirnya berkembang ke apparel (pakaian). Kain dipasok dari para perajin di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Bali. Agar sejalan dengan prinsip ramah lingkungan, Elizabeth berkomitmen menggunakan pewarnaan alam.
Diungkapkannya, Program Pintu makin mematangkan desain dan strategi pemasarannya. Masukan yang paling membuka pikiran Elizabeth terkait penginterpretasian 'seksi' ke dalam busana dari seorang mentor asal Prancis.
Di Bali, Enigma Art Textile menyasar turis asing yang menurut hematnya suka berpakaian terbuka. "Tapi ternyata tidak. Menurut mentor, seksi itu tidak melulu harus ditonjolkan dengan cutting yang terbuka," ujar Elizabeth.
Model bisnis jenamanya juga dibenahi. Biasa berjualan dengan sistem konsinyasi yang terpusat pada konsumen atau B2C (business-to-consumer), Elizabeth diarahkan pada penjualan secara B2B (business-to-business) yang berorientasi pada buyers yang umumnya peritel dan cenderung memesan dalam skala besar.
"Pola pikir wholesale sangat ditekankan. Aku juga banyak belajar tentang merchandising dan packaging," tambah Elizabeth.
Pembuktian Karya
Koleksi bertajuk 'Circularity' menjadi pembuktian Elizabeth bahwa dirinya siap masuk ke level dunia. Kreasinya naik pentas di peragaan Pintu Incubator yang digelar dalam rangkaian JF3 Fashion Festival 2024 di Summarecon Mall Serpong, Tangerang, Banten, pada akhir Juli lalu.
Ia memilih 'Circularity' sebagai judul untuk mempertegas kembali jati diri Enigma Art Textile yang lekat dengan konsep lingkaran keberlanjutan (circular fashion). Desainer menciptakan pakaian bagi konsumen dan jika tidak terpakai lagi, produk fashion tersebut berputar kembali ke produsen untuk diolah kembali. Tujuannya mengurangi limbah tekstil.
"Jadi di koleksi ada tangan perajin, desainer, manufaktur, yang saling terhubung," ungkap Elizabeth yang menyiapkan 12 set busana (9 wanita dan 3 pria) untuk presentasi tersebut.
Koleksi Enigma Art Textile di JF3 Fashion Festival 2024. (Foto: Robbie Suharlim/JF3) |
'Circularity' tergambarkan secara harfiah dalam motif berbentuk bulat pada busana yang didominasi busana musim panas seperti untuk ke pantai. Muncul atasan bikini dipadu kain yang dililit sebagai rok, dibungkus outer, lalu terusan dengan crop top dan celana dalam sebagai dalaman terekspos, tidak ketinggalan padanan tank top dan wide-leg pants.
Semuanya terbuat dari material linen dan katun yang nyaman. Adapun pewarnaan alam berasal dari tumbuhan seperti mangga (untuk menghasilkan rona kekuningan), indigo (biru), dan secang (coral atau merah muda kejinggaan).
"Tantangannya, terkadang warna yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang kami inginkan sehingga prosesnya harus diulang. Beruntung, kami bermitra dengan perajin yang mau berkompromi," kata Elizabeth.
Koleksi Enigma Art Textile di JF3 Fashion Festival 2024. (Foto: Robbie Suharlim/JF3) |
Di fashion show tersebut, Enigma Art Textile berbagi panggung dengan peserta Pintu lainnya. Dari lima yang tampil, hanya dua yang terpilih untuk 'melenggang' ke Paris. Selain Enigma, label Senses juga mendapat tiket emas tersebut.
Sempat Jadi Kerjaan Sampingan
Tahun ini, pihak Pintu Incubator menerima ratusan pendaftar. Meski peminatnya bertambah, jumlah peserta yang diterima lebih sedikit agar pembinaan lebih maksimal.
Elizabeth sudah mengetahui program ini sejak tahun lalu dan berniat untuk mendaftar. Namun niatnya tertunda karena waktu pendaftaran yang mepet dan baru kesampaian tahun ini.
Bagi Elizabeth, berpartisipasi di Pintu merupakan bentuk komitmennya untuk memperkenalkan circular fashion ke khalayak lebih luas. Sekaligus, ia ingin semakin menseriusi usahanya setelah sempat vakum sejenak.
"Setelah tiga tahun mendirikan Enigma, aku sempat mempertanyakan tujuan dan jati diri brand ini. Sampai akhirnya, aku menyibukkan diri dengan terlibat di program pelatihan yang diadakan pemerintah di daerah-daerah. Enigma malah jadi kerjaan sampingan," ungkap lulusan Kriya Tekstil Mode di Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Telkom (sekarang bagian dari Telkom University) Bandung, Jawa Barat, itu.
Pengalaman tersebut membawa Elizabeth ke Sambas dan sekitaran Jawa. Pertemuannya dengan banyak perajin yang semangat berkarya di sana justru kembali menggugah hati Elizabeth untuk merintis kembali Enigma Art Textile.
Pandemi COVID-19 yang terjadi pada awal 2020 semakin memberi waktu bagi Elizabeth untuk fokus. Perlahan-lahan, bisnisnya semakin berkembang. Puncaknya tahun lalu ketika akhirnya ia bisa membuka butik dan kantor sendiri di Denpasar, Bali.
Elizabeth Selly, pendiri Enigma Art Textile yang berbasis di Bali. (Foto: Dok. pribadi) |
Kini, Elizabeth dan timnya yang terdiri dari lima orang sudah mulai sibuk mempersiapkan koleksi untuk Paris Trade Show. Ia berencana membawa sekitar 20 produk yang terdiri dari pakaian dan aksesori.
Harapan bisa menggaet pembeli tentu ada. Tapi ia tak mau terlalu bermuluk-muluk di tengah waktu persiapan yang terbilang singkat. "Targetnya yang penting koleksinya sudah bisa selesai sebelum deadline," katanya.
Bagi pendatang baru seperti Elizabeth, memang kecil kemungkinan untuk langsung mendapatkan buyers. Dalam kesempatan terpisah, Thresia Mareta, pendiri Lakon Indonesia sekaligus penggagas Pintu Incubator, mengatakan mereka akan melihat dulu seberapa sering seorang desainer ikut pameran dagang.
Dari situ akan terlihat sejauh mana komitmen para desainer. "Konsistensi dan relevansi menjadi kunci penting bagi desainer yang ingin sukses. Pintu Incubator seperti lembaga penjamin mutu, sehingga kami perlu mengkurasi dengan baik, dan tentunya desainer atau brand ini perlu berusaha memanfaatkan kesempatan ini," kata Thresia.
Menparekraf Soal Heboh Brand Lokal Klaim Show di Paris Fashion Week
Menparekraf Soal Heboh Brand Lokal Klaim Show di Paris Fashion Week
(dtg/dtg)
Terkini Lainnya
Pembuktian Karya
Sempat Jadi Kerjaan SampinganFuture Loundry Tutup JF3 Fashion Festival 2024, Olah Baju Bekas dari Pasar
Rinda Salmun Rilis Lini Baru, Baju Rancangan Desainer Harga Terjangkau
Program Pintu, Bukti Indonesia Jadi Prioritas Prancis di Bidang Mode
Streetwear dalam Keindahan Batik di 'Pasar Malam' Lakon Indonesia
Kain Negeri di JF3 2024, Adu Ide dan Kreatif Desainer IFDC Garap Wastra
Sabar dan Konsisten, Cara Ampuh Buat Desainer Indonesia Taklukkan Paris
10 Brand RI yang Berhasil Mendunia
Mengenal Pemilik Holland Bakery, Toko Roti yang Sering Dikira Merek Belanda